Mitha Tri Mutiar
3 min readOct 18, 2020
TUBUH TABAH
TUBUH TABAH

“Ah, mengapa cobaan ini berat sekali?” Celotehku bernada lirih dan gemetar.

Suara kerikil-kerikil halus beradu dengan sepatuku siang itu. Usai menyelesaikan mata kuliah yang tidak sepadat biasanya. Aku kuliah di salah satu Universitas swasta di daerah Sukabumi, agak jauh dari tempat tinggalku. Kali pertama menjadi anak rantau, berharap bisa segera mengenakan toga dihadapan keluarga. Namun nyatanya perjalanan masih sangat panjang. Aku baru saja memasuki gerbang kehidupan sesungguhnya. Dimana aku harus mulai terbiasa berjuang seorang diri.

Dalam perjalanan pulang, tatapanku kosong, kepalaku dipenuhi beban yang sedari tadi berdesakan ingin aku luapkan. Kondisi ekonomi keluarga yang saat itu sedang sulit mencoba menghantui kepalaku akhir-akhir ini, dagangan orangtuaku hampir habis, warung yang di pakai untuk berjualan akan segera dijual untuk menyambung hidup kami sehari-hari. Orangtuaku bukan orang yang cenderung terbuka terhadap suatu masalah, pandai memberi keyakinan seolah semua akan baik-baik saja. Padahal aku tahu, sebenarnya mereka sedang tidak baik-baik saja.

Di tengah terik yang cukup membakar kulit, langkahku terhenti di sudut kota untuk berisitirahat sejenak. Rimbanya pohon beringin memberi teduh berpayung daun. Sambil meminum air dalam botol plastik yang sedari tadi menemaniku menyelesaikan mata kuliah di kampus. Tatapanku tiba-tiba tertuju pada seorang lelaki tua dengan pakaian lusuh membawa dagangan begitu besar yang tampaknya semakin mendekat. Ia berhenti dibelahku, mencoba bersembunyi dari incaran terik.

Aku memecah keheningan dengan memulai dialog singkat

“Pak jualan apa ?” tanyaku dengan polos.

“Jualan dipan neng” Jawabnya sembari melemparkan senyum kecil

Dipan — tempat tidur yang terbuat dari papan yang tidak berkelambu

“Ini di bawa jalan gini aja dipan nya ? sudah ada yang beli?” tanyaku penasaran

“Belum?” balasnya lagi

“Nanti kalo gak laku gimana ?” tanyaku sambil ragu siapa yang akan membeli dipan di tengah perkotaan seperti ini.

“Sudah Pasti laku, karena kalo ada yang jual pasti ada yang beli” dengan nada tenang dan senyum penuh keikhlasan.

“yakin ada yang beli ya pa ?”

“Yakin, seyakin-yakinnya” ungkapnya sambil lantang dan percaya. Ia pun pamit melanjutkan perjalanan.

Siapa sangka, hari ini aku mendapat lebih dari berjilid-jilid pelajaran tentang tabah dan walakal dari seorang lelaki tua paruh baya. Bahkan aku tak sempat menanyakan siapa namanya. Lalu aku teringat sepenggal ayat yang berbunyi :

“Dan tidak satu pun makhluk bergerak di muka bumi melainkan dijamin oleh Allah SWT rejekinya” (QS. Hud : ayat 6)”

Disitu aku percaya, yang dikatakan orangtuaku nyata adanya, bahwa semua akan baik-baik saja. Ternyata setiap manusia memiliki beban yang bebeda dengan berat yang sama. Seperti lelaki tua tadi, kita hanya perlu tabah dan tawakal.

Untuk pemilik tubuh paling tabah

Sepasang ratap mata nanar penuh makna

Mungkin haru, suka, atau bahagia

Disibak tetes demi tetes keringat yang luruh di pelipis

Meniadakan jiwa-jiwa paling lusuh

Langkahnya dimangsa terik,

Sepanjang jalan raya, kakinya mengayuh pedih

Sosok itu kian lama kian renta

Namun semangatnya membara

Roda-roda akan jadi saksi,

Dari tubuh dengan ketabahan utuh

Tak kenal mengeluh

Apalagi melontar kesah paling payah

Semua karena dia percaya bahwa Allah itu ada, bersamanya.

No responses yet